Asas Hukum
Asas Hukum (principle of
legality) merupakan istilah yang tidak asing dalam ilmu hukum. Apa itu Asas Hukum? Pengertian asas hukum itu sendiri telah banyak dirumuskan oleh para ahli.
Menurut
Paul Scholten (1974)
Paul Scholten mendefinisikan AsasHukum sebagai kecenderungan-kecenderungan
yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum, yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasanya sebagai pembawaan yang umum, tetapi
harus ada.
Asas hukum umum : norma dasar yang dijabarkan dari hukum
positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang
lebih umum.
Asas hukum khusus : asas hukum
yang berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang yang lebih
sempit seperti dalam bidang hukum perda, hukum pidana dan sebagainya, yang
sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum.
Asas hukum internasional : asas
hukum yang diberlakukan dalam hubungan antar negara.
Asas hukum pengangkutan : objek
kajian berupa landasan filosofis (Fundamental
norm) yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan mengenai pengangkutan yang
menyatakan kebenaran, keadilan dan kepatutan yang diterima oleh semua pihak.
Menurut Fuller
1. Suatu system hokum harus mengandung peraturan-peraturan yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan- keputusan yang bersifat ad hoc;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bias dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku; membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bias dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
1. Suatu system hokum harus mengandung peraturan-peraturan yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan- keputusan yang bersifat ad hoc;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bias dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku; membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bias dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
Menurut Bellefroid
Bellefroid berpendapat bahwa asas hokum sebagai norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum ini merupakan pengendapan hukum positif dalam
suatu masyarakat. Asas Hukum Umum itu, merupakan hukum positif dalam suatu masyarakat.
Menurut
Van Eikema Hommes
Asas Hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada
asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum adalah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif
Menurut Van der Velden
Asas hukum adalah tipe putusan
tertentu yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau
digunakan sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas satu nilai
atau lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasi.
Menurut Satjipto Rahardjo (1986:87)
Menyatakan asas hukum, bukan peraturan hukum. Namun, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di
dalamnya. Karena asas hokum ini memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hokum dan tata hukum.
Beliau menyatakan bahwa asas-asas hukum itu tak hanya sekadar persyaratan adanya suatu sistem hukum, melainkan merupakan pengklasifikasian system hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Selanjutnya beliau mengibaratkan asas hokum sebagai jantung peraturan hokum atas dasar dua alasan :
1. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hokum itu bias dikembalikan kepada asas hukum.
2. Asas hukum karena mengandung tuntutan etis, maka asas hokum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hokum dengan cita-cita social dan pandangan etis masyarakatnya.
Beliau menyatakan bahwa asas-asas hukum itu tak hanya sekadar persyaratan adanya suatu sistem hukum, melainkan merupakan pengklasifikasian system hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Selanjutnya beliau mengibaratkan asas hokum sebagai jantung peraturan hokum atas dasar dua alasan :
1. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hokum itu bias dikembalikan kepada asas hukum.
2. Asas hukum karena mengandung tuntutan etis, maka asas hokum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hokum dengan cita-cita social dan pandangan etis masyarakatnya.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1996:5-6),
Asas hokum bukan merupakan hokum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang, setiap system hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hokum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.
Asas hokum bukan merupakan hokum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang, setiap system hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hokum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.
Tak semua asas yang tertuang dalam peraturan atau pasal yang kongkrit.
Alasannya, adanya rujukan pada asas Nullum Delictum Nulla Poena
Sine Praevia Lege Poenali (
Tiada suatu peristiwa dipidana, kecuali atas dasar peraturan perundang-undangan pidana yang
mendahu-lukannya ), dan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence).
Beliau menyatakan bahwa asas hukum tak hanya mempengaruhi hukum positif, namun dalam banyak hal tak menutup kemungkinan asas hokum itu dapat membentuk sistem checks and balance. Dalam artian asas hokum itu sering menunjukkan pada kaidah yang berlawanan. Hal itu menunjukkan adanya sifat saling mengendalikan dan membatasi, yang akan menciptakan keseimbangan.
Beliau menyatakan bahwa asas hukum tak hanya mempengaruhi hukum positif, namun dalam banyak hal tak menutup kemungkinan asas hokum itu dapat membentuk sistem checks and balance. Dalam artian asas hokum itu sering menunjukkan pada kaidah yang berlawanan. Hal itu menunjukkan adanya sifat saling mengendalikan dan membatasi, yang akan menciptakan keseimbangan.
Asas hukum memiliki landasan,
yaitu berakar dalam masyarakat dan pada nilai-nilai yang dipilih dalam
kehidupan bersama. Fungsi asas hukum dalam hukum dapat mengesahkan dan
mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengikat
karena mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan
hakim.
Contoh Asas Hukum :
1.
Lex superior
derogat legi inferiori.
Peraturan
perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan
perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang
ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
2.
Lex specialis
derogat legi generalis.
Aturan hukum
yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan :
·
Ketentuan-ketentuan
yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus
dalam aturan hukum khusus tersebut.
·
Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus sederajat dengan
ketentuan- ketentuan lex generalis (undang-undang
dengan undang-undang).
·
Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum
keperdataan.
3.
Lex posterior
derogat legi priori.
Aturan hukum
yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas
ini mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Memuat prinsip-prinsip :
·
Aturan hukum yang
baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
·
Aturan hukum baru
dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini mencegah dualisme yang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum. Dengan adanya asas ini, ketentuan yang mengatur
pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting.
Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat
aturan hukum baru mulai berlaku.
4.
Asas Nonretroaktif
asas yang melarang
keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Bahwa suatu undang-undang belum bias diterapkan kepada suatu kasus apabila undang-undang tersebut belum ditetapkan.
5. Asas Presumption of
innocence
Asas praduga tak bersalah
Bahwa seseorang
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah
dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (penjelasan UU
No 8/1981 tentang KUHAP butir 3 c)
Contoh pasal asas hukum :
Lex specialis derogat legi generali.
Misalnya pemberlakuan
KUH Dagang terhadap KUH Perdata dalam hal perdagangan. Contoh lainnya dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”.
Aturan
ini bersifat umum (lex generalis). Pasal 18
ayat 5 dan 6 yang berbunyi
“Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahanyang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat”.
“Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Tetap
menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus
(lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih
secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.
Lex posterior derogat legi priori.
Asas ini dipergunakan ketika terdapat pertentangan antara aturan yang derajatnya sama, misalnya UU 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenyampingkan UU No 1 Tahun 1995. Contoh lainnya UU no 14/1992 tentang
UU Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Mengenyampingkan Undang-Undang no 13/1965
Nonretroaktif.
Dalam
hukum pidana, asas ini dicantumkan lagi dalam pasal 1 ayat (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada
perbuatan itu”
Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”
menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa
larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi
ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian
hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan
tindak pidana atau tidak.
Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam
Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada
dalam pasal 1 ayat (2) KUHP,
“Jika
sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku
surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka
daripada hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang pelanggar hukum
pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir.
Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut
juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM (“UU Pengadilan HAM”):
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM ad hoc”
Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa:
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Jadi, secara umum suatu undang-undang adalah bersifat
non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk
hal-hal tertentu dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya
ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan
HAM.