Hukum Sebagai Norma Sosial
Eksistensi Hukum Dalam Hidup Bermasyarakat
Sejak kapan hukum itu ada? Sebuah pertanyaan yang tidak dapat
diketahui jawabannya. Namun bila berkilblat pada ungkapan “ubi societas ibi ius”
yang terjemahannya, Dimana ada masyarakat
disitu ada hukum, pasti akan semakin bias. Pada dasarnya manusia merupakan modus
survival, yang berarti kita dapat melangsungkan hidup hanya dengan
bermasyarakat. Hal ini berarti manusia tidak mungkin hidup secara atomistis dan
soliter. Dan dalam hidup bermasyarakat terdapat dua aspek, yaitu aspek fisik
dan aspek eksintensial.
·
Aspek Fisik
Aspek fisik merupakan
aspek yang dilihat berdasarkan bentuk konkrit raga seseorang.
Misalnya kebutuhan manusia untuk tetap bertahan hidup seperti
kebutuhan akan makan, minum, melindungi diri, dan melanjutkan keturunan.
·
Aspek Eksistensial
Aspek eksistensial merupakan aspek
yang berhubungan terhadap sesamanya.
Misalnya untuk mempertahankan
eksistensinya, manusia tidak hanya memerlukan fisik saja. Manusia memerlukan
cinta, kasih sayang, tidak hanya bertahan hidup secara fisik. Serta menjaga
jiwanya agar tetap terlindungi dari berbagai aspek seperti cemooh, takut, dan
lainnya.
Manusia merupakan makhluk sosial
yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia yang lain untuk
menjalankan kehidupan. Manusia mengembangkan sarana bersifat immateril yang
menjadi perekat dalam hidup bermasyarakat. Sarana itu muncul dari dalam diri
manusia itu sendiri, yaitu cinta kasih dan kebersamaan, bahkan dua hal itulah yang
menlandasi kehidupan bermasyarakat yan disebut sebagai moral. Dengan begini,
moral menimbulkan pranata-pranata pada manusia.
Arnold Toynbee mengemukakan
pendapat mengenai perbedaan pada masyarakat pra peradaban dan masyarakat
berperadaban tidak terletak pada ada atau tidaknya pranata. Dilihat dari segi
tujuannya, pranata-pranata itu berbentuk :
·
Ritual : Pranata yang berkaitan antara manusia
dengan sesuatu di luar dirinya.
· Norma : Hubungan antar manusia dengan manusia lain
dalam bermasyarakat yang berisi perintah dan larangan.
Perintah dan larangan yang masih bersifat luas itu perlu dituangkan
kedalam aturan-aturan hukum yang bersifat konkret. Aturan-aturan tersebut
membatasi lingkup tingkah individu dalam bermasyarakat agar
tidak merugikan orang lain dan telah disepakati oleh masyarakat. Aturan-aturan
itu yang disebut hukum. Namun tidak dapat dikatakan hukum bila tumbuh dan
berkembang tapi tidak diimplementasikan oleh suatu kekuasaan yang bersifat
formal.
HUKUM DAN KEBIASAAN
Pada masyarakat primitif,
kebiasaan diidentikkan dengan hukum. Sebagai norma sosial, hukum merupakan
suatu produk budaya yang hadir pada masyarakat dengan budaya apa pun.
Malinovski menegaskan pada suatu masyarakat primitif, hukum timbul dari
kebutuhan masyarakat. Hukum bereksistensi sebagai hasil kerja sama suatu
masyarakat, dimana merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan
sesuatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat.
Dalam studi masyarakat oleh Llewellyn dan Hobel,
mereka berpendapat bahwa didalam masyarakat terdapat tiga unsur, yaitu kelompok,
keinginan yang berbeda, dan gugatan-gugatan. Hal itu disebabkan karna terdapat
perbedaan pada masyarakat primitif, ada konflik, dan kebiasaan merujuk pada
praktik-pratik yang terbentuk. Mereka melihat ada dua faktor utama dalam
dinamika hukum, yaitu perkembangan yang tidak disadari dan tuntutan individual
yang dilakukan secara sadar. Melalui studinya yang lebih cermat, ia menemukan
sistem pembagian fungsi yang pasti dan sistem kewajiban timbal-balik yang
ketat.
Hukum tidak sama dengan kebiasaan. Jika hukum hadir pada masyarakat dalam bentuk
budaya apapun dan inheren dalam kehidupan masyarakat, kebiasaan itu sesuatu
yang acap kali dilakukan berulang-ulang yang dapat berupa ritual penting,
menimbulkan reaksi bila terjadi pelanggaran, dan kebiasaan dapat menjadi hukum
kebiasaan apabila masyarakat menerima sebagai aturan yang harus dilakukan.
ARTI PENTING HUKUM DALAM ASPEK FISIK DAN EKSISTENSIAL MANUSIA
Pandangan yang menyatakan
bahwa hukum baru ada pada masyarakat yang berbentuk organisasi modern tidak
dapat diterima. Itu dimaksudkan untuk
menolak pandangan positivisme yang dikemukakan mulai Jhon Austin sampai H.L.A.
Hart. Kaum positivis memandang hukum sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa.
Menurut Hart, hukum dibuat
secara formal dan dilengkapi dengan
sanksi. Ia mengatakan ada dua macam aturan, yaitu primary rules merupakan aturan yang memberikan hak dan membebankan
kewajiban pada masyarakat. Dan secondary
rules merupakan aturan yang menetapkan dan oleh siapa primary rules dibuat, dinyatakan diubah, dan dinyatakan tidak
berlaku. Ia mengemukakan tiga karakteristik hukum yaitu validity, efficacy, dan
acceptance.
Validity
merujuk pada primary rules dilawankan dengan secondary rules. Hart menambahkan
adanya karakter ketiga acceptance yaitu masyarakat menerima aturan itu sebagai
aturan valid. Esensi hukum bukan sekedar terletak pada segi-segi prosedural
meski prosedur itu dilakukan secara demokratis. Esensi aturan hukum adalah
pencerminan dari moral. Mengenai hal ini dorkin yang tulisan-tulisannya
ditujukan untuk menyerang pendapat hart memisahkan pengertian hukum dari
pengertian aturan dan sistem aturan. Menurut dorkin, pada kasus-kasus yang
sulit, prinsip-prinsip yang dirujuk mempunyai kekuatan mengikat. Pandangan
dorkin tersebut kiranya dapat diterima karena didalam hukum memang terkandung
nilai-nilai moral.
Kerangka pikiran Hart adalah
nalar yang didasarkan pada minimum content
of natural law. Minimum content of
natural law terdiri dari lima isi.
·
Manusia
sebagai makhluk rentan (Human Vulnerability)
·
Keadaan yang
hampir sama antara satu manusia dengan manusia lainnya (Approximate Equality)
·
Altruisme
terbatas (Limited Altruism)
·
Terbatasnya
sumber daya (Limited Resources)
·
Terbatasnya
pemahaman dan daya kemauan (Limited Understanding and Strenghtof Will)
Dengan
demikian hart tetap berpegang pada pandangan bahwa hukum merupakan perintah
penguasa dari apa yang dikemukakannya tampak jelas bahwa hart meskipun
menyerang positivisme austin, ia tidak dapat keluar dari belenggu positivisme
karena ia tetap berpegang pada pendirian bahwa hukum merupakan aturan-aturan
yang dibuat secara formal dan dilengkapi dengan sanksi.
EKSISTENSI SANKSI
Sebagian besar teori hukum menyatakan baik secara eksplisit maupun
implisit bahwa yang membedakan norma hukum dan norma lainya adalah pada norma
hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi. Hart juga berpandangan hukum sebagai perintah
dan meletakkan sanksi sebagai sesuatu yang melekat pada hukum. Hart berpendapat
bahwa hukum adalah perintah itu dibuat oleh suatu
kekuasaan yang mempunyai supremasi dan bersifat merdeka, tidak tunduk kepada general habbit of disobedience. Hart mengatakan bahwa dimanapun
ada sistem hukum, pasti ada orang-orang yang menerbitkan perintah yang didukung
dengan ancaman. Tidak dapat dibantah bahwa ancaman memang menunjang ketaatan.
Bahkan jika dilakukan penghitungan statistik, hart mengmukakan bahwa dimana ada
sistem hukum selalu ada perintah dan ancaman yang diterbitkan oleh orang-orang
yang memiliki supremasi. L.J. Van
Apeldoorn menyatakan dengan tegas bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam
hukum. Van Apeldoorn juga menyatakan suatu negara dalam banyak hal merupakan
penuangan dari azas-azas dan norma-norma agama, moral, dan sosial yang didukung
kesadaran masyarakat. Jika mengikuti pandangan yang menyatakan bahwa yang
menjadi pembeda antara norma hukum dan norma sosial lainnya adalah adanya
sanksi lebih-lebih sanksi fisik, cabang hukum selain hukum pidana bukan
merupakan hukum karena tidak mengandung paksaan fisik.
HUKUM DAN KEKUASAAN
Bertrand
russel mengatakan, bahwa “Power constituties the fundamental concept in social
science in the same way that energy is the fundamental concept the physics” .
ia selanjutnya menegaskan bahwa cinta kekuasaan merupakan suatu motif utama yang menyebabkan
terjadinya perubahan.
Hukum memiliki bentuk asli
membatasi kekuasaan berusaha memungkinkan terjadinya kekuasaan, cenderung meredakan
ketegangan, dan mencegah terjadinya disintegrasi sosial. Sedangkan kekuasaan memiliki
bentuk berupa tindakan kesewenangan, mendominasi pihak lain untuk berada
dibawah pengaruh kontrolnya, melaksanakan kemauannya meskipun ada pihak lain
yang menentangnya, dan struktur kekuasaan dibangunatas dasar pengabdian dan
ketaatan yang tepat kepada pemimpin.
HUKUM DAN NORMA SOSIAL LAINNYA
Hukum dan norma-norma sosial lainnya dibedakan
dari berbagai segi. Yaitu :
·
Dari segi
tujuan adanya norma, hukum menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia
sebagai makhluk sosial dan aspek
lahiriyah manusia. Norma hukum diadakan dalam rangka mempertahankan bentuk
kehidupan bermasyarakat sebagai modus survival.
·
Dari segi
wilayah yang diaturnya, hukum mengatur tingkah laku lahiriyah manusia. Oleh
karena itu, hukum tidak akan bertindak manakala tndakan seseorang tersebut
tidak melanggar aturan hukum meskipun batin orang tersebut sebenarnya ingin
melakukan tindakan yang melanggar hukum.
·
Dari segi
asal kekuatan mengikatnya, hukum mempunyai kekuatan mengikat karna ditetapkan
oleh penguasa atau berkembang dari praktik-praktik yang berkembang di
masyarakat. Hukum menitikberatkan kepada aspek manusia sebagai makhluk sosial
sekaligus aspek lahiriyah manusia.
·
Dari segi isi
norma, menetapkan hak disamping kewajiban dan mencerminkn moral yang mendasari
segala aktivitas.
Norma
agama cenderung memiliki kekuatan yang mengikat yang berasal dari dalam diri
tiap individu. Ketaatan itu terbentuk karena iman. Titik berat yang menjadi
sasaran norma agama adalah aspek individu manusia bukan aspek manusia sebagai
makhluk sosial. Agar manusia lebih berkenan kepada Sang Pencipta bukan
ketertiban masyarakat. Dimana semua yang dianjurkan, dilarang, dan dijanjikan
Tuhan tiap agama ada dalam Kitab Suci masing-masing agama.
Moral, Moral
hadir sebagai petunjuk sebagai individu. Sebagai suatu produk budaya yang
melekat pada diri manusia moral menghendaki manusia berbudipekerti luhur dan
berbuat kebajikan. Dalam hal demikian, secara jelas moral dapat dibedakan dari
hukum. Hukum tidak pernah menuntut orang berbuat kebajikan atau demawan. Yang
pertama kali membuat perbedaan yang tegas antara hukum dan moral adalah Imanuel
Kant.
Namun
demikian, L.J. Van Apeldoorn menyatakan, bahwa perbedaan antara hukum dan moral
tidak perlu dipertajam karena tidak sepenuhnya benar kalau hukum berkaitan
dengan tingkah laku lahiriyah manusia dan moral hanya berkenaan dengan keadaan
batiniyah seseorang. Moral didalam perbincangan ini harus berkaitan dengan
tingkah laku lahiriyah manusia dalam rangka hidup manusia. Jika hukum memang
ingin melarang perzinahan atau hal-hal tidak bermoral lainnya, pesan-pesan itu
harus dapat diterima oleh nalar dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat.
Jika agama dan moral lebih menitikberatkan kepada aspek manusia sebagai
individu dan aspek batiniyah manusia, etika tingkahlaku sebagaimana hukum
menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia sebagai makhluk sosial dan
aspek lahiriyah manusia. Namun demikian antara hukum dan etika tingkahlaku
terdapat juga perbedaan.
Etika tingkahlaku adalah aturan-aturan tidak
tertulis yang dikembangkan oleh suatu komunitas tertentu mengenai bagaimana
seharusnya anggota-anggota komunitas itu bertingkahlaku. Kakuatan mengikat
norma ini diletakkan oleh komunitas itu sendiri. Oleh karena itulah penegakkan
norma ini tidak dilakukan oleh negara, melainkan oleh komunitas itu sendiri.
Pelanggar terhadap etika tingkah laku akan mendapat reaksi dari komunitasnya
yang berupa celaan, cemoohan, pengucilan, bahkan mungkin pemboikotan. Reaksi
semacam itu tidak dapat dipandang remeh. Sebaliknya, reaksi tersebut dapat saja
mempunyai akibat yang lebih berat daripada sanksi hukum. Etika tingkah laku
mungkin saja dituangkan kedalam hukum baik berupa perundang-undangan maupun putusan
pengadilan
0 komentar:
Posting Komentar